"Aku percaya karena Mika bilang gitu.." - Indi
Seperti prediksi, demam film yang diadaptasi dari buku dengan penjualan terlaris akan menghiasi roda perfilman nasional tahun ini. Sebagai pembuka, muncullah MIKA yang diangkat dari autobiografi seorang gadis bernama Indi lewat bukunya Waktu Aku Sama Mika dan Karena Cinta Itu Sempurna.
Drama besutan Lasja Fauzia Susatyo ini berkisah tentang gadis penderita scoliosis (kelengkungan tulang belakang) bernama Indi. Masa transisi dari SMP ke SMA yang dianggap bakal suram berubah penuh warna saat gadis tersebut bertemu dengan Mika yang disebutnya sebagai malaikat karena melihatnya begitu spesial.
Kedekatan di antara keduanya pun berubah menjadi sesuatu bernama cinta. Namun kisah Indi dan Mika tidaklah semudah dongeng karena malaikatnya tersebut merupakan seorang ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS).
Well, MIKA menyajikan sebuah hal klise, drama dengan momok kematian sebagai benang merah. Meski premisnya sendiri cukup unik, apa yang ditawarkan Indra Herlambang dan Mira Santika dalam balutan naskah tidaklah benar-benar baru, cenderung monoton dan membosankan, malah.
Alhasil, MIKA menjadi film yang hanya coba mengulangi lagi hal repetitif dari drama-drama yang sudah rilis sebelumnya tanpa menawarkan sesuatu yang bisa dibilang lebih greget.
Kekurangan lain juga tampak dari pemaparan penderita HIV/AIDS itu sendiri. Beberapa bagian film ini terlihat bermain aman. Mending sih dari pada drama-drama pengumbar air mata yang google itu (ups!). Tapi tetap saja penyampaian salah kaprah.
Meski begitu Lasja mampu menampilkan filmnya ini dengan runut. Terlebih sinematografi Padri Nadeak yang memang selalu melenakan mata.
Sebagai main cast, duet Velove Vexia dan Vino G Bastian tak terlalu mengecewakan meski juga tidaklah spesial lihat saja dari model rambut Vino yang oh my... Setidaknya lewat film ini kita bisa belajar bahwa yang dijauhi dari seorang ODHA bukan penderita, melainkan virus yang mematikan tersebut.
5 dari 10
untuk Velove Vexia dan sinematografinya
Post a Comment